makananhewani.com - Pada dasarnya, sertifikat halal diakui sebagai tanda kehalalan produk yang diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), berdasarkan fatwa halal tertulis atau penetapan kehalalan produk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, atau Komite Fatwa Produk Halal.
Baca juga: Mengenal 10 Macam Kemitraan dengan UMKM
Penting untuk dicatat bahwa sebelum UU 33/2014 direvisi melalui Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang UU 6/2023, terdapat beberapa lembaga yang memiliki keterlibatan dalam isu kehalalan produk, yaitu: Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang menerbitkan fatwa halal dan yang mengeluarkan sertifikat halal; Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI sebagai peneliti kehalalan produk dari perspektif ilmu pengetahuan; Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagai lembaga yang memberikan izin label halal; Kementerian Agama sebagai pihak yang merumuskan kebijakan, melakukan sosialisasi, dan memberikan edukasi kepada masyarakat; serta Kementerian terkait lainnya.
Baca juga: Label Berbahasa Indonesia pada Kosmetik Impor, Wajibkah?
Berdasarkan Pasal 48 angka 3 dari Perppu Cipta Kerja yang memodifikasi Pasal 5 ayat (1) UU 33/2014, tanggung jawab dalam penyelenggaraan JPH ditanggung oleh pemerintah. Pelaksanaan JPH ini dijalankan oleh Menteri Agama (Menteri). Selanjutnya, untuk mengelola pelaksanaan JPH, BPJPH dibentuk dengan kedudukan di bawah dan tanggung jawab kepada Menteri. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa peran MUI dalam kewenangan sertifikasi halal digantikan oleh BPJPH. Di sisi lain, LPPOM MUI yang sebelumnya bertugas melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan produk digantikan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Dalam pelaksanaan jaminan produk halal, BPJPH memiliki kewenangan yang mencakup: merumuskan dan menetapkan kebijakan terkait jaminan produk halal; menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk jaminan produk halal; menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk; melakukan registrasi sertifikat halal pada produk dari luar negeri; menggelar sosialisasi, edukasi, dan publikasi mengenai produk halal; menjalankan akreditasi terhadap LPH; mendaftarkan auditor halal; melakukan pengawasan terhadap jaminan produk halal; memberikan pembinaan kepada auditor halal; dan menjalankan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri dalam hal penyelenggaraan jaminan produk halal.
Walaupun peran MUI digantikan oleh BPJPH, MUI tetap memiliki peran dalam proses sertifikasi halal. Mengapa demikian? Hal ini karena BPJH dapat menjalin kerja sama dengan MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Aceh dalam pelaksanaan wewenangnya, terutama dalam konteks penetapan kehalalan produk.
Dengan demikian, bagaimana tahapan pengajuan sertifikasi dan pemberian label halal? Rincian tentang proses ini dapat ditemukan di bawah ini. Ulasan mengenai Proses Pengajuan Sertifikasi dan Pemberian Label Halal Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, label halal dianggap sebagai tanda kehalalan produk yang diperoleh melalui proses sertifikasi halal. Oleh karena itu, produk yang telah diberikan sertifikat halal harus memasang label halal.
Proses sertifikasi halal oleh BPJPH sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut: Permohonan sertifikat halal diajukan oleh pelaku usaha kepada BPJPH. Permohonan ini dilengkapi dengan berbagai dokumen, termasuk data mengenai pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar bahan produk yang digunakan, serta proses produksi. BPJPH menunjuk LPH untuk melaksanakan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk sesuai permohonan dari pelaku usaha. Penunjukan LPH dilakukan dalam batas waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah kelengkapan dokumen permohonan dinyatakan. Pemeriksaan dan pengujian produk terhadap kehalalannya dilaksanakan oleh auditor halal yang ada di LPH. Proses ini tidak boleh melebihi 15 (lima belas) hari kerja, dan dilakukan di tempat produksi pada saat produksi berlangsung. Jika terdapat keunsikan mengenai kehalalan bahan, pengujian laboratorium dapat dilakukan. Jika perlu lebih banyak waktu untuk pemeriksaan produk, LPH berhak meminta perpanjangan waktu kepada BPJPH. Hasil pemeriksaan dan pengujian terhadap kehalalan produk yang dilakukan oleh LPH diberikan kepada MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, dengan salinan yang juga dikirimkan kepada BPJPH melalui sistem elektronik terintegrasi. Penetapan kehalalan produk ditentukan oleh MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dalam Sidang Fatwa Halal. Sidang Fatwa Halal tersebut memutuskan mengenai kehalalan produk paling lambat dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh menerima hasil dari pemeriksaan dan/atau pengujian produk.
Sertifikat halal berlaku sejak diterbitkan oleh BPJPH dan akan berlanjut selama tidak terjadi perubahan komposisi bahan dan/atau Proses Produk Halal (PPH). Jika terdapat perubahan dalam komposisi bahan dan/atau PPH, pelaku usaha wajib untuk melakukan pembaruan pada sertifikat halal.
Baca juga: Dasar Hukum Kewajiban Pencantuman Tanggal Kedaluwarsa Produk